Harmonious & Sustainable Future

Floating on Digoel River

Home/TSE News/Floating on Digoel River

Picture: If the boat, which is essential for mobile health service, is broken, the boat can only be stranded by the river.

 

When we completed the mobile health service, we rushed back to the hospital. But despite being in a rush, we had to finish our dinner en route.

Most of the villages we visited are three hours away from the hospital, so we stopped briefly when we saw a suitable place.

The moment we saw a place to tie a boat, we cheered and shouted that we found a “river cage” or riverbank. After mooring the boat, we ate and rested, then continued our journey. We could feel happiness when we completed the mobile health service.

However, a strange thing happened on the day went back from Metto Village, Subur District in Subur. In fact, we already had a strange hunch right when we started our journey back after having some rest.

There seemed to be a problem with the longboat we took. When the engine stopped, we literally started floating on Digoel River. We looked around and found there were no villages, just us, a boat with a broken engine on the river, and a boat full of luggage. We really hoped there would be someone who could find us and willing to help us.

The river turned to be beautiful during sunset, but we were speechless looking at the scenery. As the beautiful scenery slowly disappeared, darkness soon came.

Boredom came over us, as if hours had passed. In fact, the boredom was even more unbearable for me, not knowing what will happen in the future.

A place where we can only hear sounds of nature. We heard a sound approaching us from afar. It turned out to be a sound from a boat’s engine. The small boat was getting closer and stopped, as if it knew what was inside our hearts. The man on the small boat seemed to understand well about engine. He took a look at our boat and said that there was a problem with the engine. Of course, it couldn’t be fixed on the river without any equipment or technicians.

We all discussed about what we should do, either wait for someone to rescue us or go to a village with a man we just met…… we asked the man, “Could you take us to the hospital,” and he immediately agreed.

By the time we started moving our luggage one by one to the small boat, rain started to fall. As our bodies and luggage became soaked due to the rain, our hearts felt even more urgency.

The boat became unstable probably because of too much weight. We rushed ourselves because many luggage had not been moved, but the boat’s engine finally went off. In the darkness, I could hear someone crying. That must be because of anxiety and fear. I also wanted to cry.

“Can we swim? Are there black snakes in Papua, waiting for us on the land?” I thought only God can help us this time. After being in confusion for so long, the engine managed to start. We all thanked Him.

However, there was another problem. We’ve started the engine a few times, and maybe this boat didn’t have enough gas to carry us. We wanted to get as close as possible to the hospital, but we couldn’t hope for that because we couldn’t put the man who was helping us in danger. In this situation, the best thing to do is to visit the nearest village to our location.

We found a village by the river with full of anxiety. The village was surrounded by grass during the day so it wasn’t visible. On the other hand, with a little light, we could see and visit the village at night. In fact, we did not know the name of the village when we arrived. With relief, we said, “Now we’re alive again,” the feeling of tiredness only passed by once. We decided to sleep or rest until dawn after talking with the villagers.

The villagers gave us a place to rest, so we laid down there, because we couldn’t sleep. I couldn’t sleep with many thoughts filling my head, “Will we able to get to the hospital tomorrow? What about the damaged boat?”

A colleague who laid down beside me was already asleep. When I was about to force myself to sleep, after tossing and turning for a while, a roaring sound came from somewhere. Where did that sound come from? The sound drew closer. In silence, as far as I know, there was only speedboat that could make a roaring sound when you’re in a village, near the river.

I ran from my bed and headed outside. The boat that made the loud sound was anchored by the river. Turned out, the boat came to pick us up.

I immediately woke up the team who was already sleeping soundly. We got on the speedboat without knowing if it was a dream or a reality. Sitting on a boat, crossing through the cold wind, we were grateful to have gotten through the day with so many things. We also believe that what we experienced that day will be a memory for us in the future. When the dawn came, we could not forget our uneasiness that day while returning to our clinic, Asiki.

I vividly remembered a small hope that “someone would come to rescue us” and the anxious thought that filled my head for hours. However, life is a series of ups and downs. When the hope fails and disappears, a small seed of hope comes again, and when the hope is in vain, a helping hand will come to our side.

I once thought, how much time and money would people in Papua need to receive a better healthcare. Then I sighed thinking it wouldn’t be easy, but after floating on Digoel River, I decided not to give up.

Papua needs more health workers and more hospitals. Either way, for now, our clinic and I will look for and help the villagers. Because Papuans are also part of Indonesian people who must be able to enjoy and experience all the policies and rights as Indonesian citizens. But we know, all of that will take time to arrive in Papua because of its remote location. Papua is still waiting without losing hope.

Published On: November 5, 2020
You may also be interested in

Share This Story, Choose Your Platform!

Recent News
  • Published On: December 28, 2023
  • Published On: December 20, 2023
  • Published On: December 16, 2023

Foto: Jika perahu yang penting untuk pengobatan keliling rusak, maka perahu itu hanya bisa terdampar di tepi sungai saja

 

Ketika kami menyelesaikan pengobatan keliling, kami buru-buru untuk kembali ke rumah sakit. Meskipun kami terburu-buru, kami harus menyelesaikan makan malam di perjalanan.

Sebagian besar desa yang kami kunjungi membutuhkan waktu perjalanan selama tiga jam dari rumah sakit, jadi kami berhenti sebentar jika kami melihat tempat yang cocok.

Ketika kami melihat tempat untuk mengikat perahu, kami bersorak dan berteriak bahwa kami menemukan “kandang sungai” atau tepian sungai. Setelah menambatkan kapal, kami makan dan istirahat, lalu kembali ke perjalanan. Kami bisa merasakan kebahagiaan ketika menyelesaikan pengobatan keliling.

Hal yang aneh terjadi pada hari ketika kami kembali dari Kampung Metto Distrik Subur di Subur. Awal keberangkatan, kami sudah merasakan pertanda aneh setelah kami beristirahat.

Sepertinya ada masalah dengan long boat yang kami tumpangi. Saat mesin berhenti, kami benar-benar mulai terapung di Sungai Digoel. Melihat sekeliling, tidak ada desa, hanya ada kami, kapal dengan mesin rusak di sungai, dan ketingting yang penuh barang bawaan. Kami sangat berharap ada seseorang yang menemukan dan mau membantu kami.

Membosankan, seolah-olah berjam-jam telah berlalu. Bahkan, kebosanan itu lebih tak tertahankan lagi bagi saya karena tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.Sungai itu berubah indah ketika matahari terbenam, tetapi kami hanya tergeming melihat pemandangan itu. Saat pemandangan indah perlahan menghilang, kegelapan akan segera datang.

Tempat yang hanya terdengar suara alam. Kami mendengar suara semakin dekat dari jauh. Itu adalah suara mesin kapal. kapal kecil yang mendekat itu berhenti, seperti mengetahui hati kami yang sesungguhnya. Orang di kapal kecil itu sepertinya mengetahui masalah mesin dengan baik. Ia mengamati kapal kami dan mengatakan bahwa itu masalah mesin. Tentu saja tidak bisa diperbaiki di sungai tanpa peralatan dan teknisi.

Kami semua berdiskusi tentang apa saja yang harus dilakukan. Kami menunggu seseorang yang menyelamatkan kami atau kami pindah ke desa dengan orang yang baru bertemu…… kami bertanya kepada orang itu, “Apakah bisa membawa kami ke rumah sakit” dan dia langsung menerimanya.

Ketika kami mulai memindahkan barang-barang kami satu per satu di atas kapal kecilnya, hujan mulai turun. Saat tubuh dan barang-barang kami mulai basah karena hujan, hati kami menjadi lebih mendesak.

Mungkin karena terlalu banyak memuat beban yang berat, mesin kapal ini mulai tidak stabil. Kami terburu-buru karena banyak barang yang belum dipindahkan, tetapi akhirnya mesin kapal mati. Dalam kegelapan, saya bisa mendengar seseorang menangis. Itu pasti karena kecemasan dan ketakutan. Saya juga ingin menangis.

“Apakah kami bisa berenang? apakah di Papua ada ular hitam yang menunggu kami ketika kami sampai di darat?” Saya pikir hanya Tuhan yang dapat membantu kami saat ini. Setelah sekian lama kebingungan, mesin berhasil menyala. Kami semua bersyukur kepada-Nya.

Namun, ada masalah yang lain. Kami sudah menstarter mesin beberapa kali, mungkin kapal ini tidak memiliki cukup bensin untuk mengangkut kami. Kami ingin sedekat mungkin dengan rumah sakit, tetapi kami tidak bisa berharap untuk itu karena kami tidak bisa membuat orang yang membantu kami dalam kondisi yang berbahaya. Dalam situasi ini, hal yang terbaik adalah mengunjungi desa terdekat dari lokasinya.

Kami menemukan sebuah desa di sungai dengan rasa penuh kecemasan. Desa itu dikelilingi oleh rerumputan pada siang hari sehingga tidak dapat terlihat. Sebaliknya pada malam hari, dengan cahaya yang kecil kami dapat melihat dan mengunjungi desa tersebut. Bahkan, kami tidak tahu nama desa tempat kami tiba itu. Dengan rasa lega kami mengatakan bahwa “kita sekarang telah hidup kembali” rasa lelah hanya mengalir dalam sekali. Kami memutuskan untuk tidur atau istirahat sampai subuh setelah berbicara dengan penduduk desa.

Penduduk desa memberi kami tempat untuk beristirahat, jadi kami pun berbaring di tempat itu, tetapi kami tidak bisa tidur. Saya tidak bisa tidur dengan banyak pikiran, “Apakah besok bisa sampai ke rumah sakit? Bagaimana kapal yang rusak?”

Teman sejawat yang terbaring di samping saya sudah tertidur lelap. Ketika saya hendak memaksakan diri untuk tidur, setelah bolak-balik beberapa saat, suara gemuruh datang dari suatu tempat. Dari mana asal suara itu? Suara itu semakin dekat. Di tengah kesunyian, setahu saya, hanya speedboat saja yang suaranya menggema bila berada di desa dekat sungai.

Saya berlari dari tempat tidur saya menuju ke luar. Kapal yang mengeluarkan suara keras itu berlabuh di samping sungai. Ternyata, kapal itu datang untuk menjemput kami.

Saya segera membangunkan tim yang sudah tidur lelap. Kami naik speedboat tanpa tahu apakah itu mimpi atau kenyataan. Kami bersyukur karena telah melewati hari itu dengan banyak hal sambil duduk di atas kapal yang berjalan menembus angin yang dingin. Selain itu kami percaya bahwa apa yang kami alami pada hari itu akan menjadi kenangan bagi kami di kemudian hari. Waktu fajar tiba, kami tidak bisa melupakan rasa gelisah pada hari itu ketika menuju ke klinik kami, Asiki.

Saya sangat ingat dengan jelas sebuah harapan kecil “seseorang akan datang untuk menyelamatkan kami” dan pikiran cemas yang memenuhi kepala saya selama berjam-jam. Namun, kehidupan merupakan serangkaian pembalikan. Ketika harapan itu gagal karena telah menghilang, benih kecil harapan pun muncul lagi, dan pada saat harapan itu menjadi sia-sia, lalu uluran tangan akan datang ke sisi kami.

Saya pernah berpikir, berapa banyak waktu dan uang yang dibutuhkan penduduk di Papua untuk mendapatkan perawatan medis yang lebih baik. Lalu, saya berkeluh memikirkan bahwa itu tidak akan mudah, tetapi setelah terapung di sungai Digoel, saya memutuskan untuk tidak menyerah.

Papua membutuhkan lebih banyak staf medis dan lebih banyak rumah sakit. Bagaimanapun, sampai saat ini, klinik kami dan saya akan mencari dan membantu penduduk desa. Karena Papua juga masyarakat Indonesia yang harus menikmati dan merasakan semua kebijakan dan haknya sebagai masyarakat Indonesia. Namun, kami tahu semua itu butuh waktu untuk sampai di Papua karena letaknya yang jauh. Papua masih menunggu tanpa kehilangan harapan.

 

Sumber : ceposonline.com

Published On: November 5, 2020
You may also be interested in

Share This Story, Choose Your Platform!

Recent News
  • Published On: December 28, 2023
  • Published On: December 20, 2023
  • Published On: December 16, 2023
Go to Top