JAKARTA, SAWIT INDONESIA – Kritikan Greenpeace Indonesia terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam perhelatan COP 26 di Glasgow, Senin (1 Oktober 2021) dinilai sudah keterlaluan. Petani sawit menilai Greenpeace Indonesia memberikan data hoaks kepada masyarakat berkaitan deforestasi, kebakaran hutan, dan enegi baru terbarukan.
“Pemerintah Indonesia saat ini sudah sangat baik dalam memperhatikan keseimbangan lingkungan, ekonomi dan sosial. Kami sudah merasakannya. Berbicara deforestasi, Greenpeace harus tunjukkan validitas data tujuh tahun terakhir. Kalau bicara kebakaran lahan, terbukti 3 tahun terakhir pengendalian kebakaran lahan sudah makin baik. Justru Jerman, Amerika, dan Australia sering kebakaran dan banjir. Kenapa Greenpeace diam saja,” ujar Albert Yoku, Petani Sawit asal Papua.
Ia menegaskan sebaiknya Greenpeace tidak menyebar data hoaks dan kebencian. Presiden Jokowi sudah menyampaikan data capaian pemerintah terkait penurunan laju deforestasi dan pengendalian karhutla.
“Sementara Greenpeace GP apa datanya dan apa yang telah mereka lakukan karena selama ini hanya bisa berteriak dan bekerja berdasarkan by project dari donatur asing. Kalau mau berteriak ya harus dimulai jujur diri sendiri, buka ke umum dari mana asal biaya Greenpeace selama ini, siapa yang membiayai?” tanya Albert yang juga Ketua DPW APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Provinsi Papua.
Ia mengatakan regulasi di Indonesia meminta transparansi sumber dana NGO termasuk Greenpeace. Sebagai anak bangsa harusnya Greenpeace malu karena hanya bisa berteriak.
“Coba berikan solusi petani sawit di Papua yang kesulitan meremajakan tanamam dan membangun kebun. Bantu kami tingkatkan pendapatan masyarakat. Kami butuh makan dan sekolahkan anak-anak kami, biaya berobat, kami masyarakat Papua juga berhak hidup lebih sejahtera dengan sumber daya alam kami,” tegasnya.
Dr. Gulat Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO menjelaskan bahwa petani sawit mengapresiasi pidato Presiden Jokowi dalam COP26 di Glasgow. Indonesia membuktikan kemampuannya menjaga keseimbangan antara dimensi ekonomi, lingkungan dan dimensi sosial. Buktinya saat ini dunia sudah berbalik arah dengan keberterimaannya atas konsep-konsep keberlanjutan seperti misalnya RAN KS (Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit berkelanjutan), Konsep intensifikasi sawit melalui PSR, peningkatan SDM petani dan beasiswa anak petani.
“Daerah yang sering kebakaran hutan saat ini praktis sudah mendekati nol persen seperti di Kalimantan dan Sumatera. Keberhasilan ini berkat ketegasan presiden dalam konsep pencegahan dan penindakan, dan semua kita menikmati itu” jelas lulusan S3 tercepat Bidang Ilmu Lingkungan Universitas Riau ini.
“Seluruh petani sawit di Indonesia di 145 DPD Kab Kota APKASINDO dari 22 DPW Provinsi APKASINDO, mengucapkan terimakasih karena dapat beraktivitas tanpa asap. Karena kebakaran lahan dapat mengganggu proses fotosintesi tanaman secara optimum,” jelas Gulat.
“Saat ini petani sawit sudah menikmati kebijakan Presiden Jokowi lantaran harga TBS melambung tinggi,” urainya.
Gulat mengharapkan NGO lingkungan tidak sebatas mengkritik. Bantulah negara menagih janji negara maju seperti Norwegia.”Bagi petani dana triliunan hibah Norwegia dapat membantu petani-petani sawit untuk mensubsidi pupuk atau bahkan mendirikan pabrik pupuk, itu baru mantap. Kalau hanya berteriak ‘pokoknya’ siapa sajapun bisa,” urainya.
Ia mengatakan Greenpeace harus jujur mempublikasikan data.”Jangan by order, apalagi data tersebut sudah masuk ke ranah publik. Karena masalah ini akan berdampak kepada masyarakat yang tidak mengetahui data sebenarnya.”
Program Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi nol kilometer kemandirian energi dan semua bahan bakunya di Indonesia. Apalagi dengan telah terbitnya UUCK Akhir tahun 2020, semakin meyakinkan dunia bahwa Indonesia sudah naik kelas sebagai garda terdepan penjaga keseimbangan ketiga aspek dimensi tadi, makanya sawit itu “peace and green”,” ujar Gulat sambil senyum.
Prof Yanto Santosa dalam kanal youtube Togar Podcast, mengatakan bahwa NGO ini diperlukan sebagai penyeimbang. Asalkan disertai niat, motif dan data valid.”Maka, negara harus berdaulat, jangan takut tekanan NGO,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan iklim di Indonesia dapat dicapai karena Indonesia menempatkan aksi iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Pertimbangan aspek lingkungan dengan ekonomi dan sosial harus dipadukan. sektor kehutanan dan lahan Indonesia akan mencapai Net Carbon Sink pada tahun 2030. Hal tersebut adalah komitmen Indonesia menjadi bagian dari solusi. “Capaian nyata Indonesia di sektor kehutanan tidak terbantahkan.
Hal tersebut disampaikan Presiden saat menjadi salah satu pembicara pada World Leaders Summit on Forest and Land Use yang digelar di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Selasa (02/11/2021).
Di hadapan para pemimpin dunia, Presiden menjelaskan bahwa program perhutanan sosial dibuat agar konservasi hutan disertai terciptanya penghidupan bagi masyarakat sekitar. Hal ini penting, karena 34 persen dari seluruh desa di Indonesia berada di perbatasan atau di dalam kawasan hutan.
“Jutaan masyarakat Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor kehutanan. Menafikan hal ini bukan saja tidak realistis, namun juga tidak akan sustainable,” tegasnya.
Presiden Jokowi menyebut bahwa 90 persen penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan ekstrem bergantung pada hutan. Penyalahgunaan isu perubahan iklim sebagai hambatan perdagangan adalah kesalahan besar. “Hal itu akan menggerus trust terhadap kerja sama internasional atasi climate change, dan malah menghalangi pembangunan berkelanjutan yang justru sangat dibutuhkan,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi menilai bahwa pengelolaan hutan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan menjadi satu-satunya pilihan. Indonesia siap berbagi pengalaman dan pengetahuan untuk itu. “Mari kita kelola hutan yang pro-environment, pro-development, dan people-centered. Ini adalah tujuan utama dari Forest, Agriculture and Commodity Trade Dialogue atau FACT Dialogue, yang diketuai bersama Indonesia bersama Inggris sehingga hutan akan menjadi solusi berkelanjutan bagi aksi iklim global,” ajaknya.
Pada tahun 2020, tingkat kebakaran hutan diminimalisir hingga 82 persen,” ungkapnya. Selain itu, pada tahun 2019, penurunan emisi dari hutan dan tata guna lahan ditekan hingga 40,9 persen jika dibandingkan tahun 2015. Deforestasi hutan Indonesia juga mencapai tingkat terendah dalam 20 tahun terakhir.
“Ini dilakukan saat dunia tahun lalu kehilangan 12 persen lebih banyak hutan primer dibanding tahun sebelumnya dan ketika banyak negara maju justru mengalami kebakaran hutan dan lahan yang terbesar sepanjang sejarah,” jelasnya.
Sumber : sawitindonesia.com